Pro Kontra Pembatasan Harga Tiket
Pesawat Murah
Apakah ada jaminan tiket mahal,
penumpang pasti selamat? Terbukti Garuda, Singapore Airlines, Air France,
Japanese Airlines pernah mengalami kecelakaan. Nasib penumpang tidak tergantung
pada tiket mahal atau murah. Jika tiket murah, apakah faktor keselamatan
menjadi murahan juga?
Bagaimana dong logikanya, murah kok
minta selamat. Apalagi sekarang dolar sudah mahal. Itulah berbagai pernyataan
di media sosial yang menunjukkan pro-kontra atas kebijakan Kementerian
Perhubungan berupa perubahan penetapan batas bawah harga tiket penerbangan.
Muhammad Alwi, direktur Angkutan Udara
Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan, menyatakan
kebijakan baru melalui Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 91 Tahun 2014 itu
membuat tak ada lagi harga tiket di bawah Rp 500.000. Kebijakan baru Menteri
Perhubungan Ignasius Jonan itu jelas mengagetkan publik, yang selama ini
menikmati penerbangan dengan tarif di bawah Rp 500.000. Bahkan banyak juga yang
di bawah Rp 400.000. Dengan tiket berharga terjangkau itu, bandar udara
(bandara) besar di Tanah Air menjadi hiruk-pikuk oleh keramaian calon
penumpang. Atau, disesaki orang-orang yang baru tiba dengan penerbangan
bertarif murah.
Bandara Soekarno-Hatta Cengkareng, Kota
Tangerang, juga masuk daftar 10 bandara tersibuk di dunia. Itu bisa terjadi
karena masyarakat yang sebelumnya tak berpikir bisa naik pesawat, kini bisa
mewujudkan keinginan mereka.
Gejala itu dipotret sebuah maskapai
penerbangan kategori low cost carrier (LCC), yang mengusung semboyan ”Everyone
Can Fly”. Karena itu, banyak orang kecewa atas kemunculan kebijakan yang
memberatkan mereka. Kebijakan itu muncul setelah terjadi kecelakan pesawat Air
Asia QZ8501, baru-baru ini. Pihak yang kecewa menilai, kebijakan itu
mengambinghitamkan tiket murah setelah terjadi kecelakaan terhadap Air Asia
yang masuk kategori LCC.
Kebijakan baru itu juga seakan-akan
menyeret publik ke adagium lama bahwa sesuatu yang murah identik dengan
asalasalan, yang berujung pada ketidakselamatan. Pada berbagai kesempatan Jonan
menyatakan pada prinsipnya lewat kebijakan baru itu, pemerintah membantu ”ruang
keuangan” yang cukup untuk mempertahankan, bahkan meningkatkan, standar
keselamatan dan pelayanan.
Adalah logis perawatan pesawat, termasuk
harga suku cadang yang dipengaruhi oleh nilai dolar AS karena harus impor,
menjadikan biaya komponen lebih mahal. Faktanya, kini banyak harga tiket
penerbangan lebih murah dibandingkan dengan harga tiket kereta api kelas
eksekutif. Jonan membandingkan harga tiket kereta api rute Jakarta- Surabaya
dan Jakarta-Yogyakarta yang kini sama, bahkan lebih mahal ketimbang harga tiket
pesawat.
Padahal, biaya perawatan pesawat lebih
mahal dan risiko yang dihadapi lebih tinggi. Masih Untung Namun argumentasi
Jonan tak sepenuhnya dapat diterima. Sebab, maskapai penerbangan LCC bertarif
terjangkau atau murah pun masih untung. Pasar LCC di Indonesia pun tumbuh
sangat pesat. Orang yang semula naik kereta api eksekutif pun mulai berpaling
ke penerbangan LCC. Mereka mempertimbangkan kecepatan waktu tempuh dan
keekonomisan kereta api bila berpegang pada prinsip waktu adalah uang. Faktor
kekurangnyamanan hanya dalam waktu satu jam penerbangan bukan kendala bagi
kebanyakan orang. Salah satu kritik datang dari Wakil Ketua Komisi V DPR Yudi
Widiana.
Dia mengemukakan pemberian izin
operasi maskapai penerbangan melayani rute dan menjual tiket dengan harga
relatif murah, jelas menunjukkan maskapai bersangkutan telah memenuhi berbagai
prosedur yang ditetapkan pemerintah. Tentu dalam pemberian izin itu pemerintah
tidak akan mengabaikan faktor keselamatan.
Bila dalam proses sebuah maskapai
diketahui tak bisa memenuhi syarat keselamatan, tidak mungkin diberi izin. Jadi
selama ini LCC yang telah membantu rakyat memenuhi kebutuhan transportasi yang
cepat dan harga terjangkau tidak masalah lagi dalam hal keselamatan. Maka
membenturkan tarif murah dan keselamatan bukan langkah yang tepat, kecuali
terbukti pemenuhan syarat faktor keselamatan maskapai LCC selama ini bisa
dijualbelikan oleh oknum aparat pemerintah yang berwenang di bidang itu. Dari
berbagai argumentasi itu, kita patut menduga dan curiga berkait dengan banyak
hal. Pertama, benarkah selama ini tarif penerbangan murah tidak bisa mengatasi
biaya keselamatan?
Bila itu terjadi, berarti selama ini
izin yang diberikan berdasar proses abal-abal, yang mengabaikan faktor
keselamatan. Kedua, benarkah kebijakan itu merupakan upaya pemerintah
menyelamatkan transportasi darat dan laut yang berpotensi terdesak oleh bisnis
LCC yang tumbuh sangat pesat?
Sehingga bahkan sampai mengundang
pemain asing untuk berkiprah memberikan jasa layanan kepada rakyat Indonesia.
Lalu, kecelakaan terhadap Air Asia digunakan sebagai pintu masuk untuk
menyelamatkan transportasi darat dan laut. Kita tentu berharap segera
memperoleh jawaban atas kondisi yang sebenarnya.
Sumber :
http://berita.suaramerdeka.com/smcetak/pro-kontra-tiket-murah-pesawat/